Kisah Saksi Hidup Peristiwa “G-30-S/PKI” Letkol (purn.) Pol. Sukitman


                “Pada 30 September malam dan menjelang dini hari 1 Oktober 1965, saya dengan mengendarai sepeda tengah patrol di Jalan Iskandarsyah, Kebayoran Baru. Tiba-tiba terdengar suara tembakan. Ketika saya cek, saya dihadang Pasukan Cakrabirawa. Saya kemudian diseret dan dimasukkan di kabin sebuah bus disamping sopir. Dengan todongan senjata, kedua tangan saya diikat kebelakang dan kedua mata saya ditutup kain. Saya baru tahu beberapa hari kemudian tembakan itu berasal dari rumah Jenderal D.I. Panjaitan.
                Dari bus, saya kemudian diturunkan disebuah tempat. Dan ketika tutupan mata saya dibuka, masih dalam suasana remang-remang saya melihat disekitarnya telah penuh dengan pasukan sukarelawan (sukwan) dan sukarelawati (sukwati), Pemuda Rakyat, dan Gerwani. Saya kemudian dibawa kedalam tenda. Disini saya mendengar kata-kata, “Yani wis dipateni” (Yani sudah dibunuh). Saya juga melihat ada orang yang telentang berlumuran darah, dan ada yang duduk sambil diikat tangan dan ditutup matanya. Kemudian saya ditawan disebuah rumah, bentuknya seperti sekolah emperan, karena ada bangku-bangku dan papan tulis. Di tempat ini, menjelang matahari terbit, saya menyaksikan satu per satu tawanan itu diseret dan kemudian diceurkan ke sumur, mereka kemudian ditembaki. Tembakan diarahkan dari kepala hingga kaki. Sementara para Sukwan dan Sukwati dengan bersorak-sorak meneriakkan yel-yel “Ganyang Kapbir” (Kapitalis Birokrat) dan “Ganyang Nekolim” (Neo Kolonialisme).
                Saat penyiksaan, saya benear-benar ngeri dan takut. Saya hanya pasrah kepada Tuhan. Saya sendiri tidak tahu, kalau yang disiksa itu para pahlawan revolusi. Waktu itu saya menyangka mereka para Kapbir seperti yang disebutkan oleh PKI. Saya juga tidak tahu kalau tempat yang banyak pohon karetnya itu Lubang Buaya.
                Disini, saya juga melihat seorang berbadan pendek dan gemuk terikat tengah diseret-seret dengan todongan senjata. Matanya ditutup. Kemudian orang itu didudukkan di kursi dan dipaksa untuk menandatangani sesuatu. Tapi ketika orang itu menolak, ia diikat kembali. Kemudian diseretdan diceburkan ke sumur, untuk kemudian ditembaki seperti yang dialami rekan-rekannya. Saya baru tahu kemudian, orang itu adalah Jenderal S. Parman.
                Setelah semua korban dimasukkan ke sumur, kira-kira pukul 08.00 pagi, para sukwan dan sukwati beramai-ramai menutupi sumur dengan sampah dan daun pohon yang telah kering. Saya kemudian dipanggil Lettu. Dul Arif dan Letnan Siman, keduanya dari Cakrabirawa yang menjadi komandan penculikan para jenderal. Lettu. Dul Arif mengembalikan senjata saya, carabine jungle yang sudah patah kayunya.
                Pada sore hari, saya dibawa Lettu. Dul Arif ke sebuah lapangan di Halim Perdanakusuma, dekat Penas. Kemudian saya bersama Iskak, sopir Lettu. Dul Arif mengambil nasi ke suatu tempat dekat markas provost AURI. Kemudian kembali lagi ke daerah Halim untuk membagi-bagikan nasi. Disini saya tertidur sampai pagi.
                Pada 2 Oktober 1965, saya melihat satuan-satuan Cakrabirawa telah berganti pakaiannya. Bila sebelumnya mereka memakai jaket dan seragam cokelat, kini loreng-loreng. Pada sore hari, saya berada sendirian, karena lelah saya berteduh dibawah kolong bus dan kemudian tertidur. Dalam keadaan sadar tidak sadar, kemudian saya mendengar suara-suara tembakan.
                Mendengar tembakan, pasukan yang dipimpin Dul Arif lari kocar-kacir menggunakan truk-truk dan saya ditinggalkan sendirian. Saya menganggap kejadian ini sebagai mukjizat dari Allah swt. . Bagaimana jadinya kalau saya tidak tidur, dan ikut bersama dengan pasukan pemberontak. Atau mereka menembak mati saya terlebih dahulu.”

Komentar

Postingan Populer